
Aku pernah mencintai, bahkan sangat mencintaimu. Berkubang dalam tangis terperih, aku masih saja mencinta. Kubiarkan hati ini mencecap lara demi lara sendiri. Aku tidak punya kekasih untuk bersedih. Karena kamu hanya ingin kusemat di dalam tawa. Kita berbahagia.
Tapi, pernahkah kamu menyelisik senyumku? Atau mempertajam telinga, terdengar getar dalam tawaku. Dengarkan dengan saksama … Ada getir di setiap getarannya.
Aku bukan tertawa karena bahagia. Tapi aku sedang menyembunyikan getas debaran agar tak menyisakan repihan. Untuk apa? Untuk kita yang masih mengaku cinta. Bahkan aku mengatupkan bibir agar tidak lagi berbicara.
Bahwa aku perih. Aku masih mencintai. Aku ingin berlari jauh dan tinggalkan persimpangan rasa yang menjemukan. Tapi aku hanya diam. Aku tidak bisa berkutik, meski kerinduan tinggal setitik.
Entahlah. Aku selalu begini. Tak mampu menyuarakan cinta ataupun meredamnya.
Cinta memang begitu …
Menghampiri tanpa warna tapi mampu mewarnai. Kita yang menjadi warna-warna itu. Dalam tetes air mata yang kita tumpahkan, atau derai tawa yang kita senandungkan.
Cinta memang begitu …
Kadang marah yang kita tunjukkan, tapi sebenarnya beribu-ribu kata sayang hanya tertahan. Akan menghangat dengan sendirinya, tanpa kita sadari. Tiba-tiba kita tidak pintar memilih kata, tapi ingin berujar agar dimengerti.
Cinta memang begitu …
Berbeda tapi sama. Dalam kesamaan masih merasa asing. Tapi bersikeras tidak ingin menjauh. Menginjak masa setia berdetik. Berdetak dalam satu titik. Kerinduan.
Rina’s
Waaah, diksi yang dipakai indah sekali. Konten yang menarik, Kak. Kaidah bahasa juga sudah sempurna. Lanjutkan!
Terima kasih, Kak Ajeng. 😘😘
Jadi tambah semangat nih, hehehe. Siap belajar lagi, Kak. 💕💕💕
Make a more new posts please 🙂
___
Sanny
Okay, thank you very much. 💕